Opini

OPINI: MEMPERKUAT KEMANDIRIAN KPU DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN KPU*)

Dimensi ketatanegaraan Indonesia sebagai penganut paham demokrasi dan kedaulatan rakyat telah mendudukkan penyelenggaraan pemilu sebagai kewajiban konstitusional dalam kehidupanberbangsa dan bernegara. Penyelenggaraan pemilu merupakan instrumen penting bagi negara demokrasi dan penganut paham kedaulatan rakyat. Tanpa pemilu, kekuasaan yang dijalankan cenderung akan berlakon otoriter dan “bertangan baja” sehingga meredupkan nilai demokrasi dalam suatu negara. Di sisi lain, penyeleggaraan pemilu menjadi tolok ukur sejauhmana kehidupan bernegera “dikemudikan” pada “rel” kedaulatan rakyat. Komisi Pemilihan Umum(selanjunnya disebut KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pemilu sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil). Kewenangan ini disebutkan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 bahwa, pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa KPU salah satu contoh lembaga negara yang dikatakan penting secara konstitusional atau sering disebut sebagai constitusional importance. KPU sebagai institusi yang menyelenggarakan semua tahapan pemilu mulai dari tahap perencanaan program sampai pada pengucapan sumpah/janji calon terpilih, dalam menjalankan kewenangannya melekat hak kemandirian. Kemandirian ini berkaitan dengan imparsialitas dan independensi lembaga KPU yang bebas intervensi dari lembaga negara lainnya maupun kepentingan politik. Hal ini bertujuan untuk melahirkan penyelanggaraan pemilu yang berdasarkan pada asas luberjurdil. Relevan dengan hal ini, dalam operasionalisasi kewenangan KPU tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara manapun. Asep Warlan Yusuf ahli Hukum Tata Negara mengatakan bahwa istilah kemandirian KPU menyiratkan tiga hal esensial, yaitu: pertama, KPU tidak berada di bawah pengaruh/perintah pihak yang mengintervensi atau mempengaruhi anggota KPU untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; kedua, tidak boleh ada penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk kepentingan pihak-pihak yang mengintervensi atau yang mempengaruhi KPU; dan ketiga harus menjalankan dan memegang teguh hukum, keadilan, kebenaran, etika, dan moral (baca: Abon Pasaribu, 2019: 433). Lembaga penyelenggara pemilu sebagai lembaga yang mandiri juga merupakan standar Internasional Institute for Democracy and Electoral Assistence (IDEA) dimana kemandirian menjadi kaharusan bagi penyelenggara pemilu untuk bersikap dan bertindak independen dalam menyelenggarakan pemilu (Ramlan Surbakti Kris Nugroho, 2015: 12). Kemandirian KPU sebagaimana yang diidealkan di atas, nyatanya tidak termanifestasi dengan baik dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, masih ada sejumlah kewenangan KPU yang perlu konfirmasi dari lembaga negara lainnya. Salah satu contohnya adalah kewenangan KPU dalam membuat regeling atau Peraturan KPU. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 75 ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, “dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu, KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui rapat dengar pendapat”. Hal ini menunjukkan jika kemandirian KPU dalam pembentukan produk hukum masih belum imparsial. Frase kata “wajib berkonsultasi” dalam ketentuan di atas sangat menganggu imparsialitas KPU dalam membentuk Peraturan KPU. Hal ini ditegaskan oleh Zainal Afirin Mochtar dalam uji materil di Mahkamah Konstitusi No.92/PUU-XIV/2016, bahwa kewenangan pembentukan produk yang mengharuskan KPU berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah akan menganggu kewenangan KPU sebagai lembaga negara independen yang bersifat self regulatory bersifat dapat mengatur dirinya sendiri sepanjang aturan berkaitan dengan kewenangannya. Di samping itu, akan memengaruhi independensi kelembagaan itu sendiri. Dengan adanya kewajiban berkonsultasi kepada DPR dan Pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU sangat berpeluang mengganggu independensi KPU. Keterlibatan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan Peraturan KPU juga dipertanyakan oleh Saldi Isra. Menurutnya “dengan menggantungkan proses pembentukan Peraturan KPU (bagian dari electoral law) kepada forum Rapat Dengar Pendapat (RDP), bagaimana mungkin KPU masih dapat dikatakan mandiri. Dengan realitas itu, bagaimana mungkin pula KPU masih dapat dikatakan bebas dari pengaruh cabang kekuasaan lain, khususnya pemerintah dan DPR? Peraturan KPU seharusnya menjadi wewenang penuh KPU untuk membentuknya justru masih harus dicampuri oleh pemerintah dan DPR”. Meskipun di tahun 2016 telah dilakukan constitusional review melalui Register No. Perkara No.92/PUU-XIV/2016  terhadap kewenangan pembentukan Peraturan KPU dalam Pasal 9 huruf a UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Dalam perkara ini, Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi  dalam amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan bahwa peraturan mengenai konsultasi yang dilakukan  KPU kepada DPR dan Pemerintah bersifat tidak mengikat. Namun putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak dapat diterapkan pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena yang diuji sebelumnya adalah UU No. UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan  Gubernur, Bupati, dan Walikota—bukan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum—, sehingga Pasal 75 ayat (4)  UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tetap berlaku dan KPU tetap “wajib berkonsultasi”  kepada DPR dan Pemerintah. Menurut hemat Penulis, seharusnya kata “wajib” diubah menjadi kata <em>“dapat” sehingga tidak ada keharusan bagi KPU  untuk berkonsultasi.  Sebab, beberapa produk hukum yang dibuat KPU perlu menggunakan nafas kemandirian, seperti Peraturan  KPU tentang syarat pencalonan, verifikasi faktual, dan lain sebagainya. Di sisi lain, jika ada kerancuan dalam Peraturan KPU sehingga tidak terjadi kesalarasan dengan penyelenggaraan ketatanegaraan maka pihak yang berkepentingan dapat melakukan judicial review terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Agung. Hal ini diatur pada Pasal 76 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan,  (1) Dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan Undang-Undang ini, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Bawaslu dan/atau pihak yang dirugikan atas berlakunya Peraturan KPU berhak menjadi pemohon untuk mengajukan pengujian kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Mahkamah Agung paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak Peraturan KPU diundangkan. (4) Mahkamah Agung memutus penyelesaian pengujian Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung. (5) Pengujian Peraturan KPU oleh Mahkamah Agung, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ketentuan ini sebenarnya telah menyediakan mekanisme hukum bagi para pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya Peraturan KPU. Jadi ketika ada permasalahan hukum dan teknis dalam penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Peraturan KPU, maka dapat diuji materil dan Mahkamah Agung dapat membatalkan aturan tersebut.  Tulisan ini tidak merefleksikan pendapat secara keseluruhan kelembagaan KPU dan hanya merupakan opini yang bersifat pribadi hasil kajian penulis. Oleh Ahmad Yani Penulis merupakan staff pada KPU Kab. Tana Toraja.  

Populer

Belum ada data.